BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa komponen utama agama islam
adalah akidah, syariah dan akhlak . kategorisasi ini didasarkan pada penjelasan
Nabi ketika melakukan dialog dengan malaikat Jibril berkenaan dengan pengertian
iman, Islam dan Ihsan. Kata yang terakhir kerapkali disejajarkan dengan term
akhlak. Terminologi ihsan diambil dari kata ahsana, yuhsinu, ihsanan yang
berarti berbuat baik.
Ketika kita merujuk pada kalamullah maka banyak kita temukan
perkataan ihsan yang berarti berbuat kebajikan atau kebaikan seperti dalam
surat An-Nahl ayat 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Ayat kebajikan lain juga dapat kita lihat dalam surat
Arrahman ayat 60
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”.
Tentunya kebaikan atau kebajikan inilah yang memiliki
hubungan yang erat dengan peristilahan akhlak. Perkataan akhlak sendiri
memiliki persesuaian dengan kata “kholik” dan “mahluk” atau pencipta dengan
yang dicipta.
Dari sinilah asal ilmu akhlak dirumuskan, yang memungkinkan
terjadinya hubungan baik antara khalik dengan mahkluk serta antara makhluk
dengan makhluk lainnya. Dalam bahasa yang lebih islami kita dapat mengatakan
bahwa akhlak adalah sikap kepribadian manusia terhadap Allah, manusia, diri
sendiri dan makhluk lainnya, sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Ini berarti akhlak merujuk pada seluruh tindak tanduk manusia dalam
segala aspek baik yang bersifat ubudiyah ataupun muamalah.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian ahklak?
2. Implementasi akhlak dalam kehidupan
3. Maksud dari akhlak terhadap
lingkungan
Tujuan
Makalah ini dibuat selain untuk memenuhi tugas matakuliah
budi pekerti juga bertujuan untuk mengetahui:
1.
Pengertian
Akhlak
2.
Implementasi
Akhlak dalam Kehidupan
3.
Akhlak terhadap lingkungan
Manfaat
Berkenaan
dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai
berikut :
Tujuan
mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat
menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian
perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan
berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya
termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya
Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk
membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati
menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.
Seseorang
yang memmpelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang criteria perbuatan
baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik
dan perbuatan yang buruk.
Ilmua
akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai
berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki
IPTEK yang majudisertaiakhlak yang mulia, niscayailmupengetahuaan yang Ia
miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia.
Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki
pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka
semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka
bumi.
Demikian
juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan
ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha
menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai
perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan demikian
secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan
pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau
yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya, dan
terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
akhlak
Akhlak menurut bahasa berasal dari bahasa Arab
اخلاق jamak dari kata خُلُقَ yang berarti tingkah laku, perangai atau
tabiat. Sementara menurut Wikipedia akhlak secara terminologi diartikan sebagai
tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk
melakukan suatuperbuatan yang baik[1].
Sementara Ibnu Maskawaih memaknai akhlak sebagai suatu sikap
mental (halun lin nafs) yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan
pertimbangan.[2] Berkaitan dengan akhlak ini, Ibnu Maskawaih membaginya
dalam dua hal yakni yang berasal dari watak (temperamen) dan ada yang berasal
dari kebiasaan dan latihan.
Hal yang tidak jauh berbeda juga diberikan oleh Imam Ghazali
dalam mengartikan akhlak. Menurutnya, akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang
mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan
gampang tanpa perlu kepada pemikiran dan pertimbangan.[3]
Ghazali menyebutkan bahwa jika sikap mental tersebut lahir
perbuatan yang baik dan terpuji maka ia disebut sebagai akhlak yang baik. Dan
jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut dengan
akhlak yang tercela.
Dalam banyak hal akhlak umumnya disama artikan dengan arti
kata budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun dalam bahasa Indonesia, atau
tidak berbeda pula dengan arti kata ethic (etika). Dimana-mana setiap
kesempatan dan situasional orang berbicara tentang etika. Memang etika ini
menarik untuk dibicarakan, akan tetapi sulit untuk dipraktekkan. Etika adalah
sistem dari prinsip-prinsip moral tentang baik dan buruk. Baik dan buruk
terhadap tindakan dan atau perilaku. Ethics dapat berupa sikap yang
berasal dari dalam diri sendiri (hati nurani) yang timbul bukan karena
keterpaksaan, akan tetapi didasarkan pada ethos dan esprit, jiwa dan semangat.[4] Ethics dapat juga berupa etiket, yaitu berasal dari
luar diri (menyenangkan orang lain), timbul karena rasa keterpaksaan didasarkan
pada norma, kaidah dan ketentuan. Etika dapat juga berarti tata susila
(kesusilaan) dan tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan hidup
sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, berbangsa dan
bernegara.
Dalam kelompok tertentu misalnya memiliki kode etik, rule of
conduct, misalnya students of conduct, kode etik kedokteran, dan atau kode etik
masing-masing sesuai dengan profesinya.
Terlepas dari istilah-istilah tersebut, pentingnya akhlak
dalam kehidupan tercermin dalam misi utama kerasulan Nabi Muhammad, bahkan
disebutkan bahwa kesempurnaan keimanan seorang Mu’min tergantung dari kebaikan
akhlaknya
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR.
Ahmad).
“Seorang Mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang
yang paling baik budi pekertinya (akhlaknya)” HR. Turmudzi
Sebagai seorang Mu’min sudah selayaknya Al-Qur’an menjadi
acuan untuk bertindak atau berakhlak. Mengikuti semua perbuatan sebagaimana
yang tercantum dalam sunnah Rasul juga merupakan tindakan aplikatif terhadap
isi kandungan Al-Qur’an. Sebab dalam sebuah riwayat, Aisyah menyebutkan akhlak
Rasulullah adalah Al-Qur’an itu sendiri.
Menjadi tauladan terbaik dalam segala tindakan bagi seluruh
umat mendapat legitimasi dari Allah. Bahkan Allah pun tak segan-segan memuji
Nabi Muhammad sebagai manusia yang berakhlak paling tinggi.
“ Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
agung” (QS. Al-Qalam. 4 ).
Imam Ibnu Daqiq mensyarahi ayat ini sebagai bukti bahwa
akhlak Nabi adalah Al-Qur’an: beliau memerintah sesuai dengan perintah Al-Qur’an,
melarang sesuai dengan larangan Al-Qur’an, ridha sesuai keridhaan yang tertulis
di Al-Qur’an dan membenci sesuai dengan kebencian yang termaktub dalam
kalamullah.[5]
Dalam garis besarnya akhlak pada dasarnya terbagi menjadi
dua yakni akhlak kepada Allah (Khalik) dan akhlak kepada makhluk (semua ciptaan
Allah). Akhlak terhadap Allah dijelaskan dan dikembangkan oleh ilmu tasawuf dan
tarikat-tarikat, sedang akhlak terhadap makhluk dijelaskan oleh ilmu akhlak
atau yang dalam bahasa modernnya dikenal dengan ethics.
Lebih lanjut, ilmu akhlak dipandang dari terminologi
merupakan ilmu yang menentukan batas baik dan buruk, antara yang terpuji dengan
yang tercela tentang perkataan dan perbuatan manusia baik secara lahir dan
bathin.
Akhlak kepada makhluk terbagi dalam dua hal yaitu:
1.
Akhlak
kepada manusia dan
2.
Akhlak
kepada selain manusia
Akhlak terhadap manusia ini juga dapat dijabarkan lagi dalam
beberapa hal
a) Akhlak terhadap diri sendiri
b) Akhlak terhadap orang lain, misalnya terhadap
Rasullulah, orang tua, tetangga, masyarakat dan lain-lain.
Sementara akhlak kepada selain manusia dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Akhlak kepada makhluk hidup bukan
manusia seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan makhluk ghaib.
b) Akhlak kepada makhluk mati atau benda mati
seperti udara, tanah, air dan sebagainya. Akhlak kepada selain manusia ini
lebih dikenal dengan akhlak terhadap lingkungan.
Implementasi Akhlak dalam Kehidupan
Pada keterangan diatas disebutkan bahwa berakhlak terbagi
atas berakhlak terhadap Khalik dan Mahluk. Dalil-dalil yang berkaitan dengan
hal tersebut banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi. Tentunnya jika
kita sarikan satu-persatu cara berakhlak kita, rasanya tidak akan cukup
tertuang dalam makalah sederhana ini.
Akhlak terhadap Allah (Khalik) antara lain adalah:
1.
Al-hubb,
yaitu mencintai Allah melebihi dari apa dan siapapun. Kecintaan kepada Allah
terimplementasi dalam pelaksanaan perintah dan penjahuan larangan-Nya.
2.
Ar-Raja’,
yaitu mengharap karunia dan berusaha meraih keridhaan Allah.
3.
As-Sukr,
yaitu mensyukuri atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita.
4.
Qanaah,
yaitu menerima segala yang menjadi takdir Allah namun tetap dibarengi dengan
ikhtiar.
5.
Tawakal,
yaitu berserah diri terhadap Allah dengan sepenuh hati.
Akhlak terhadap Makhluk (manusia)
1. Akhlak terhadap Rasullulah
1.
Mencintai
Rasullulah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya
2.
Menjadikan
Rasullulah sebagai suritauladan dan idola dalam semua aspek kehidupan.
3.
Menjalankan
semua yang diperintahkan dan menjahui yang dilarangnya
2. Akhlak terhadap Orang Tua
1.
Mencintai
mereka melebihi kerabat lainnya
2.
Berbuat
baik kepada kedua orang tua dengan mematuhi semua nasehatnya serta tidak
menyinggung perasaannya
3.
Selalu
menggunakan kata-kata yang lembut ketika berkomunikasi dengan kedua orang tua
4.
Selalu
mendoakan untuk keselamatan mereka dan memintakan ampun atas segala kesalahan
3. Akhlak terhadap diri sendiri
1.
Memelihara
kesucian diri
2.
Senantiasa
berbuat jujur dan ikhlas dalam segala tindakan
3.
Menjahui
segala perbuatan dan perkataan sia-sia
4.
Malu
untuk berbuat jahat
4. Akhlak terhadap orang lain
1.
Saling
membantu dan juga menghormati
2.
Saling
memberi dan menghindari permusuhan serta pertengkaran
3.
Mendahulukan
kepentingan umum daripada pribadi dan masih banyak hal lain.
5. Akhlak terhadap Lingkungan
1.
Sadar
dan memelihara lingkungan hidup
2.
Menjaga
dan memanfaatkan alam yang memang diciptakan Allah untuk manusia
3.
Sayang
pada sesama makhluk hidup.
4.
Senantiasa
menggalakkan kerja bakti sebagai sarana perawatan alam
Akhlak terhadap Lingkungan
Yang dimaksud lingkungan
di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang,
tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada dasarnya, akhlak yang
diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai
khalifah.
Kekhalifahan menuntut
adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam.
Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar
setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak
Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik
bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada
makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini berarti manusia
dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan
terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia
bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata
lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai
perusakan pada diri manusia sendiri."
Binatang, tumbuhan, dan
benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi
milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini
mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat"
Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."
Jangankan dalam masa
damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang
melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan
mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi
itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan
dan demi kemaslahatan terbesar.
Apa saja yang kamu tebang
dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu
semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).
Bahwa semuanya adalah
milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di
dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus
dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi,
setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah
dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan
dan pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi saw tentang
firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi, "Kamu
sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu
peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh
terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk
memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut
apa yang berada di sekitar manusia.
Kami tidak menciptakan
langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan)
yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf [46]: 3).
Pernyataan Tuhan ini
mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri
sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus
berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap
sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah
penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari
pandangan mitos Yunani.
Yang menundukkan alam
menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan
kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Mahasuci Allah yang
menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak
mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, manusia
tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk
kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.
Al-Quran menekankan agar
umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw yang membawa rahmat untuk seluruh alam
(segala sesuatu). Untuk
menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan memberi nama semua yang
menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa.
"Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu
mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Nabi Muhammad saw telah
mengajarkan : "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik."
Di samping prinsip
kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang
berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah
yang menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah
Janganlah ada satu kaum
yang merendahkan kaum yang lain. (QS. Al-Hujurat ayat 11)
Dan Dia (Allah)
menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai
rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ini berarti bahwa alam
raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya
dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk
dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah
untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh
benda-benda itu. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat,
bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya
diridhoi Allah SWT, sesuai dengan kaidah kebenaran dan keadilan.
Akhirnya kita dapat
mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur
dari akhlaknya. Nabi bersabda : "Agama adalah hubungan interaksi yang
baik."
Beliau juga bersabda: "Tidak ada sesuatu yang lebih
berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin
pada hari kiamat, melebihi
akhlak yang luhur. (Diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi).
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari makalah ini adalah:
1. Akhlak mengatur tata cara dan
norma-norma tentang hubungan antara sesama manusia dan yang maha pencipta
2. Akhlak terhadap rasul
bagaimana kita mengikuti cara-cara/sunah yang pernah dilakukan oleh nabi
3. Akhlak
Saran
Adapun
saran-saran dari kami
1. Diharapkan pada teman-teman agar
memberi motivasi dalam penyusunan makalah ini.
2. Saran dan kritik yang membangun
sangat kami harapkan agar dalam penyusunan makalah berikutnya dapat lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
H. Ambo Asse, M.Ag. 2003. Al-Akhlak al-Karimah Dar al-Hikmah wa
al-Ulum.Makassar: Berkah Utami.
Saya,
Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar