Minggu, 21 Oktober 2012

MAKALAH AHLAK TERHADAP LINGKUNGAN


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bahwa komponen utama agama islam adalah akidah, syariah dan akhlak . kategorisasi ini didasarkan pada penjelasan Nabi ketika melakukan dialog dengan malaikat Jibril berkenaan dengan pengertian iman, Islam dan Ihsan. Kata yang terakhir kerapkali disejajarkan dengan term akhlak. Terminologi ihsan diambil dari kata ahsana, yuhsinu, ihsanan yang berarti berbuat baik.
Ketika kita merujuk pada kalamullah maka banyak kita temukan perkataan ihsan yang berarti berbuat kebajikan atau kebaikan seperti dalam surat An-Nahl ayat 90
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”
Ayat kebajikan lain juga dapat kita lihat dalam surat Arrahman ayat 60
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”.
Tentunya kebaikan atau kebajikan inilah yang memiliki hubungan yang erat dengan peristilahan akhlak. Perkataan akhlak sendiri memiliki persesuaian dengan kata “kholik” dan “mahluk” atau pencipta dengan yang dicipta.
Dari sinilah asal ilmu akhlak dirumuskan, yang memungkinkan terjadinya hubungan baik antara khalik dengan mahkluk serta antara makhluk dengan makhluk lainnya. Dalam bahasa yang lebih islami kita dapat mengatakan bahwa akhlak adalah sikap kepribadian manusia terhadap Allah, manusia, diri sendiri dan makhluk lainnya, sesuai dengan petunjuk dan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini berarti akhlak merujuk pada seluruh tindak tanduk manusia dalam segala aspek baik yang bersifat ubudiyah ataupun muamalah.

Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ahklak?
2.      Implementasi akhlak dalam kehidupan
3.      Maksud dari akhlak terhadap lingkungan
Tujuan
Makalah ini dibuat selain untuk memenuhi tugas matakuliah budi pekerti juga bertujuan untuk mengetahui:
1.      Pengertian Akhlak
2.      Implementasi Akhlak dalam Kehidupan
3.       Akhlak terhadap lingkungan

Manfaat
Berkenaan dengan manfaat mempelajari ilmu akhlak ini, Ahmad Amin mengatakan sebgaai berikut :
Tujuan mempelajari ilmu akhlak dan permasalahannya yang menyebabkan kita dapat menetapkan sebagian perbuatan yang lainnya sebagai yang baik dan sebagian perbuatan lainnya sebagai yang buruk. Bersikap adil termasuk baik, sedangkan berbuat zalim termasuk perbuatan buruk, membayar utang kepada pemilkinya termasuk perbuatan baik, sedangkan mengingkari utang termasuk pebuatan buruk.
Selanjutnya Mustafa Zahri mengatakan bahwa tujuan perbaikan akhlak itu, ialah untuk membersihkan qalbu dari kotoran-kotoran hawa nafsu dan marahsehingga hati menjadi suci bersih, bagaikan cermin yang dapat menerima NUR cahayaTuhan.
Seseorang yang memmpelajari ilmu ini akan memiliki pengetahuan tentang criteria perbuatan baik dan buruk, dan selanjutnya ia akan banyak mengetahui perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Ilmua akhlak atau akhlak yang mulia juga berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai aktivitas kehidupan manusia disegala bidang. Seseorang yang memiliki IPTEK yang majudisertaiakhlak yang mulia, niscayailmupengetahuaan yang Ia miliki itu akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan hidup manusia. Sebaliknya, orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta, kekuasaan, namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia, maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan menimbulkan bencana dimuka bumi.
Demikian juga dengan mengetahui akhlak yang buruk serta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkan darinya, menyebabkan orang enggan untuk melakukannya dan berusaha menjauhinya. Orang yang demikian pada akhirnya akan terhindar dari berbagai perbuatan yang dapat membahyakan dirinya.
Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa Ilmu Akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk. Terhadap perbuatan yang baik ia beruasaha melakukannya, dan terhadap yang buruk ia berusaha untuk menghindarinya.


BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian akhlak
Akhlak menurut bahasa berasal dari bahasa Arab   اخلاق jamak dari kata خُلُقَ yang berarti tingkah laku, perangai atau tabiat. Sementara menurut Wikipedia akhlak secara terminologi diartikan sebagai tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatuperbuatan yang baik[1].
Sementara Ibnu Maskawaih memaknai akhlak sebagai suatu sikap mental (halun lin nafs) yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan.[2] Berkaitan dengan akhlak ini, Ibnu Maskawaih membaginya dalam dua hal yakni yang berasal dari watak (temperamen) dan ada yang berasal dari kebiasaan dan latihan.
Hal yang tidak jauh berbeda juga diberikan oleh Imam Ghazali dalam mengartikan akhlak. Menurutnya, akhlak adalah suatu sikap (hay’ah) yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu kepada pemikiran dan pertimbangan.[3]
Ghazali menyebutkan bahwa jika sikap mental tersebut lahir perbuatan yang baik dan terpuji maka ia disebut sebagai akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut dengan akhlak yang tercela.
Dalam banyak hal akhlak umumnya disama artikan dengan arti kata budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun dalam bahasa Indonesia, atau tidak berbeda pula dengan arti kata ethic (etika). Dimana-mana setiap kesempatan dan situasional orang berbicara tentang etika. Memang etika ini menarik untuk dibicarakan, akan tetapi sulit untuk dipraktekkan. Etika adalah sistem dari prinsip-prinsip moral tentang baik dan buruk. Baik dan buruk terhadap tindakan dan atau perilaku. Ethics dapat berupa sikap yang  berasal dari dalam diri sendiri (hati nurani) yang timbul bukan karena keterpaksaan, akan tetapi didasarkan pada ethos dan esprit, jiwa dan semangat.[4] Ethics dapat juga berupa etiket, yaitu berasal dari luar diri (menyenangkan orang lain), timbul karena rasa keterpaksaan didasarkan pada norma, kaidah dan ketentuan. Etika dapat juga berarti tata susila (kesusilaan) dan tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan hidup sehari-hari baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, berbangsa dan bernegara.
Dalam kelompok tertentu misalnya memiliki kode etik, rule of conduct, misalnya students of conduct, kode etik kedokteran, dan atau kode etik masing-masing sesuai dengan profesinya.
Terlepas dari istilah-istilah tersebut, pentingnya akhlak dalam kehidupan tercermin dalam misi utama kerasulan Nabi Muhammad, bahkan disebutkan bahwa kesempurnaan keimanan seorang Mu’min tergantung dari kebaikan akhlaknya
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (HR. Ahmad).
“Seorang Mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik budi pekertinya (akhlaknya)” HR. Turmudzi
Sebagai seorang Mu’min sudah selayaknya Al-Qur’an menjadi acuan untuk bertindak atau berakhlak. Mengikuti semua perbuatan sebagaimana yang tercantum dalam sunnah Rasul juga merupakan tindakan aplikatif terhadap isi kandungan Al-Qur’an. Sebab dalam sebuah riwayat, Aisyah menyebutkan akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an itu sendiri.
Menjadi tauladan terbaik dalam segala tindakan bagi seluruh umat mendapat legitimasi dari Allah. Bahkan Allah pun tak segan-segan memuji Nabi Muhammad sebagai manusia yang berakhlak paling tinggi.
“ Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. Al-Qalam. 4 ).
Imam Ibnu Daqiq mensyarahi ayat ini sebagai bukti bahwa akhlak Nabi adalah Al-Qur’an: beliau memerintah sesuai dengan perintah Al-Qur’an, melarang sesuai dengan larangan Al-Qur’an, ridha sesuai keridhaan yang tertulis di Al-Qur’an dan membenci sesuai dengan kebencian yang termaktub dalam kalamullah.[5]
Dalam garis besarnya akhlak pada dasarnya terbagi menjadi dua yakni akhlak kepada Allah (Khalik) dan akhlak kepada makhluk (semua ciptaan Allah). Akhlak terhadap Allah dijelaskan dan dikembangkan oleh ilmu tasawuf dan tarikat-tarikat, sedang akhlak terhadap makhluk dijelaskan oleh ilmu akhlak atau yang dalam bahasa modernnya dikenal dengan ethics.
Lebih lanjut, ilmu akhlak dipandang dari terminologi merupakan ilmu yang menentukan batas baik dan buruk, antara yang terpuji dengan yang tercela tentang perkataan dan perbuatan manusia baik secara lahir dan bathin.
Akhlak kepada makhluk terbagi dalam dua hal yaitu:
1.      Akhlak kepada manusia dan
2.      Akhlak kepada selain manusia
Akhlak terhadap manusia ini juga dapat dijabarkan lagi dalam beberapa hal
a)    Akhlak terhadap diri sendiri
b)   Akhlak terhadap orang lain, misalnya terhadap Rasullulah, orang tua, tetangga, masyarakat dan lain-lain.
Sementara akhlak kepada selain manusia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a)    Akhlak kepada makhluk hidup bukan manusia seperti tumbuh-tumbuhan, hewan dan makhluk ghaib.
b)   Akhlak kepada makhluk mati atau benda mati seperti udara, tanah, air dan sebagainya. Akhlak kepada selain manusia ini lebih dikenal dengan akhlak terhadap lingkungan.

Implementasi Akhlak dalam Kehidupan
Pada keterangan diatas disebutkan bahwa berakhlak terbagi atas berakhlak terhadap Khalik dan Mahluk. Dalil-dalil yang berkaitan dengan hal tersebut banyak dijumpai dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi. Tentunnya jika kita sarikan satu-persatu cara berakhlak kita, rasanya tidak akan cukup tertuang dalam makalah sederhana ini.
Akhlak terhadap Allah (Khalik) antara lain adalah:
1.      Al-hubb, yaitu mencintai Allah melebihi dari apa dan siapapun. Kecintaan kepada Allah terimplementasi dalam pelaksanaan perintah dan penjahuan larangan-Nya.
2.      Ar-Raja’, yaitu mengharap karunia dan berusaha meraih keridhaan Allah.
3.      As-Sukr, yaitu mensyukuri atas segala nikmat yang diberikan Allah kepada kita.
4.      Qanaah, yaitu menerima segala yang menjadi takdir Allah namun tetap dibarengi dengan ikhtiar.
5.      Tawakal, yaitu berserah diri terhadap Allah dengan sepenuh hati.
6.      Taubat Nasuha, yaitu berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.[8]
Akhlak terhadap Makhluk (manusia)
1. Akhlak terhadap Rasullulah
1.      Mencintai Rasullulah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya
2.      Menjadikan Rasullulah sebagai suritauladan dan idola dalam semua aspek kehidupan.
3.      Menjalankan semua yang diperintahkan dan menjahui yang dilarangnya
2. Akhlak terhadap Orang Tua
1.      Mencintai mereka melebihi kerabat lainnya
2.      Berbuat baik kepada kedua orang tua dengan mematuhi semua nasehatnya serta tidak menyinggung perasaannya
3.      Selalu menggunakan kata-kata yang lembut ketika berkomunikasi dengan kedua orang tua
4.      Selalu mendoakan untuk keselamatan mereka dan memintakan ampun atas segala kesalahan
3. Akhlak terhadap diri sendiri
1.      Memelihara kesucian diri
2.      Senantiasa berbuat jujur dan ikhlas dalam segala tindakan
3.      Menjahui segala perbuatan dan perkataan sia-sia
4.      Malu untuk berbuat jahat
4. Akhlak terhadap orang lain
1.      Saling membantu dan juga menghormati
2.      Saling memberi dan menghindari permusuhan serta pertengkaran
3.      Mendahulukan kepentingan umum daripada pribadi dan masih banyak hal lain.
5. Akhlak terhadap Lingkungan
1.      Sadar dan memelihara lingkungan hidup
2.      Menjaga dan memanfaatkan alam yang memang diciptakan Allah untuk manusia
3.      Sayang pada sesama makhluk hidup.
4.      Senantiasa menggalakkan kerja bakti sebagai sarana perawatan alam

Akhlak terhadap Lingkungan

Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa.
Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain, "Setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri."
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am (6): 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H) di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk Al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.
Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah ... (QS Al-Hasyr [59]: 5).
Bahwa semuanya adalah milik Allah, mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apa pun yang berada di dalam genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus dipertanggungjawabkan. "Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharaan dan pemanfatannya", demikian kandungan penjelasan Nabi saw tentang firman-Nya dalam Al-Quran surat At-Takatsur (102): 8 yang berbunyi, "Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)." Dengan demikian bukan saja dituntut agar tidak alpa dan angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Pemilik (Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar manusia.
Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan (QS Al-Ahqaf [46]: 3).
Pernyataan Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani.
Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami, sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu (QS Az-Zukhruf [43]: 13)
Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian, sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama.
Nabi Muhammad saw telah mengajarkan : "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik."
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhir, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam Al-Quran surat Al-Hujurat ayat 11 adalah
Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain. (QS. Al-Hujurat ayat 11)
Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu; semua yang ada di langit dan di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya diridhoi Allah SWT, sesuai dengan kaidah kebenaran dan keadilan.
Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda : "Agama adalah hubungan interaksi yang baik."
Beliau juga bersabda: "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin
pada hari kiamat, melebihi akhlak yang luhur. (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). 




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah:
1.      Akhlak mengatur tata cara dan norma-norma tentang hubungan antara sesama manusia dan yang maha pencipta
2.      Akhlak terhadap rasul bagaimana  kita mengikuti cara-cara/sunah yang pernah dilakukan oleh nabi
3.      Akhlak
Saran
Adapun saran-saran dari kami
1.      Diharapkan pada teman-teman agar memberi motivasi dalam penyusunan makalah ini.
2.      Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan agar dalam penyusunan makalah berikutnya dapat lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Ambo Asse, M.Ag. 2003. Al-Akhlak al-Karimah Dar al-Hikmah wa al-Ulum.Makassar: Berkah Utami.
Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar